Sejak zaman dahulu hingga paruh pertama abad ini coitus pada kehamilan, terutama pada trimester terakhir dilarang dalam berbagai komunitas sosial. Risiko yang ditakutkan termasuk infeksi dan persalinan prematur. Penelitian mengenai hal ini selama 40 tahun terakhir tenyata membuahkan hasil-hasil yang saling bertentangan. Beberapa peneliti berpendapat bahwa coitus pada masa kehamilan bisa menyebabkan KPD, persalinan prematur dan chorioamnionitis. Sementara peneliiti lain tidak menemukan hubungan antara coitus selama kehamilan dengan komplikasi yang terjadi (Klebanoff, 1993).
Penelitian untuk mengetahui efek coitus pada kehamilan lanjut, pertama kali dilakukan oleh Pugh dan Fernandez (1953) dengan subyek 200 wanita hamil, dan mereka menyimpulkan bahwa coitus tidak menyebabkan suatu komplikasi apapun terhadap kehamilan. Dengan demikian tidak dianjurkan untuk menghindari coitus pada saat hamil bahwa coitus selama kehamilan tidak meningkatkan risiko terjadinya persalinan prematur, KPD, perdarahan ataupun infeksi (Rynerson BC, 1993).
Peneliti lain mempertimbangkan adanya faktor cairan seminal dan stimulasi pada mammae sebagai salah satu yang menginduksi persalinan prematur. Sebagaimana diketahui cairan seminal kaya dengan prostaglandin dan enzim yang potensial menyebabkan inisiasi persalinan. Sementara stimulasi pada mammae akan menyebabkan diproduksinya oksitosin sehingga juga akan merangsang terjadinya kontraksi uterus. (Klebanoff, 1993).
Belum terbuktinya coitus sebagai faktor risiko terjadinya persalinan prematur menyebkan rekomendasi yang berbeda-beda pula. Sebagian praktisioner kebidanan menyatakan tidak ada alasan untuk membatasi kegiatan seksual selama kehamilan (Thrope, 1992). Sementara sebagian yang lain menyarankan pembatasan hubungan seksual pada 4 minggu terakhir kehamilan dan kapan saja bila terdapat indikasi ancaman abortus atau persalinan prematur (Cunningham, 1997). Menurut penelitian Palakathodi dkk (2000) di Denmark frekuensi koitus yang sering tanpa pemakaian kondom berpengaruh terhadap kolonisasi Streptokokus Grup B. Pada ibu hamil dengan frekuensi koitus yang sering (≥7x/4 minggu) tanpa kondom didapatkan prevalensi beberapa mikroorganisma vagina yang lebih tinggi, termasuk kolonisasi Streptokokus Grup B dibandingkan dengan ibu hamil yang jarang melakukan koitus (frekuensi < 3x/4 minggu) (Irianti, 2002).
Penelitian untuk mengetahui efek coitus pada kehamilan lanjut, pertama kali dilakukan oleh Pugh dan Fernandez (1953) dengan subyek 200 wanita hamil, dan mereka menyimpulkan bahwa coitus tidak menyebabkan suatu komplikasi apapun terhadap kehamilan. Dengan demikian tidak dianjurkan untuk menghindari coitus pada saat hamil bahwa coitus selama kehamilan tidak meningkatkan risiko terjadinya persalinan prematur, KPD, perdarahan ataupun infeksi (Rynerson BC, 1993).
Peneliti lain mempertimbangkan adanya faktor cairan seminal dan stimulasi pada mammae sebagai salah satu yang menginduksi persalinan prematur. Sebagaimana diketahui cairan seminal kaya dengan prostaglandin dan enzim yang potensial menyebabkan inisiasi persalinan. Sementara stimulasi pada mammae akan menyebabkan diproduksinya oksitosin sehingga juga akan merangsang terjadinya kontraksi uterus. (Klebanoff, 1993).
Belum terbuktinya coitus sebagai faktor risiko terjadinya persalinan prematur menyebkan rekomendasi yang berbeda-beda pula. Sebagian praktisioner kebidanan menyatakan tidak ada alasan untuk membatasi kegiatan seksual selama kehamilan (Thrope, 1992). Sementara sebagian yang lain menyarankan pembatasan hubungan seksual pada 4 minggu terakhir kehamilan dan kapan saja bila terdapat indikasi ancaman abortus atau persalinan prematur (Cunningham, 1997). Menurut penelitian Palakathodi dkk (2000) di Denmark frekuensi koitus yang sering tanpa pemakaian kondom berpengaruh terhadap kolonisasi Streptokokus Grup B. Pada ibu hamil dengan frekuensi koitus yang sering (≥7x/4 minggu) tanpa kondom didapatkan prevalensi beberapa mikroorganisma vagina yang lebih tinggi, termasuk kolonisasi Streptokokus Grup B dibandingkan dengan ibu hamil yang jarang melakukan koitus (frekuensi < 3x/4 minggu) (Irianti, 2002).
Post a Comment