Download Materi Kuliah Keperawatan - Gratis

RSS Subscription

Subscribe via RSS reader:
Berlangganan Artikel via E-Mail:
 

Remote Purperium

Posted By Revolusi Pendidikan On 7:07 PM 0 comments
Remote Purperium adalah waktu yang di perlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil dan waktu persalinan mempunyai komplikasi.
Waktu untuk sehat sempurna bias berminggu – minggu, bulanan bahkan tahunan. (Mochtar, 1998).

Letak sungsang presentasi kaki

Posted By Revolusi Pendidikan On 7:49 PM 0 comments
a. Pengertian letak sungsang presentasi kaki
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang , yakni : presentasi bokong, presentasi bokong kaki sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki. Pada presentasi kaki bagian paling rendah ialah satu atau dua kaki. (Sarwono 2005 : 606-613).
b. Etiologi presentasi kaki adalah :
(1) Letak janin proses adaptasi janin terhadap ruangan di dalam uterus
(2) Jumlah air ketuban relative banyak
(3) Multiparitas
(4) Prematuritas
(5) Kehamilan ganda
(6) Hidramnion
(7) Hidrosefalus
(8) Anensefalus
(9) Plasenta previa
(10) Panggul sempit
(11) Kelaina uterus
(12) Kelainan bentuk uterus. (Sarwono 2005.: 606-613).
c. Diagnosis
Anamnesis : kehamilan terasa penuh di bagian atas dan gerakan tersa lebih banyak dibagian bawah.
Pemeriksaan luar : di bagian bawah uterus tidak teraba kepala, balotemen negative, teraba kepala di fundus uteri, denyut jantung janin ditemukan setinggi atau sedikit lebih tinggi dari pada umbilicus.
Pemeriksaan dalam: setelah ketuban pecah teraba sacrum. Bila teraba bagian kecil bedakan apakah kaki atau tangan.
(Sarwono 2005 : 606-613).
d. Prognosis
Angka kematian bayi pada persalinan letak sungsang lebih tinggi dibandingkan dengan letak kepala, menurut Eastman sebesar 12-14%. (Sarwono 2005 : 606-613).

Konsep Dasar Diabetes Melitus

Posted By Revolusi Pendidikan On 6:06 PM 0 comments
a. Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.


b. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Mellitus sebagai berikut :
1). Tipe I : Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM)
2). Tipe II : Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
3). Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
4). Diabetes Mellitus gestasional (GDM)
Berdasarkan klasifikasi dari WHO (1985) dibagi beberapa tipe yaitu :
1). Diabetes Mellitus Tipe Insulin
Insulin Dependen diabetes mellitus (IDDM) yang mana klien tergantung pada pemberian insulin untuk mencegah terjadinya ketoasidosis dan mempertahankan hidup. Biasanya pada anak-anak atau usia muda dapat disebabkan karena keturunan.
2). Diabetes Mellitus tipe II, Non Insulin Dependen diabetes mellitus (NIDDM), terbagi dua yaitu :
a). Non obesitas
b). Obesitas
Disebabkan karena kurangnya produksi insulin dari sel beta pankreas, tetapi biasanya resistensi aksi insulin pada jaringan perifer. Biasanya terjadi pada orang tua (umur lebih 40 tahun) atau anak dengan obesitas.


3). Diabetes Mellitus Tipe Lain
(1) Diabetes oleh beberapa sebab seperti kelainan pankreas, kelainan hormonal, Diabetes karena obat/zat kimia, kelainan reseptor insulin, kelainan genetik dan lain-lain.
(2) Obat-obat yang dapat menyebabkan hiperglikemia antara lain:
(3) Furasemid, thyasida diuretic glukortikoid, dilanting dan asam hidotinik
(4) Diabetes Gestasional (Diabetes Kehamilan) intoleransi glukosa selama kehamilan,
Tidak dikelompokkan kedalam NIDDM pada pertengahan kehamilan meningkat sekresi hormon pertumbuhan dan hormon chorionik somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk mensuplai asam amino dan glukosa ke fetus.
c. Etiologi
1). Diabetes Tipe I
a). Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
b). Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans.


c). Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
2). Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a). Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b). Obesitas
c). Riwayat keluarga
Menurut banyak ahli beberapa faktor yang sering dianggap penyebab yaitu
a). Faktor Genetik
Riwayat keluarga dengan Diabetes :
Pincus dan White berpendapat perbandingan keluarga yang menderita diabetes mellitus dengan kesehatan keluarga sehat, ternyata angka kesakitan keluarga yang menderita Diabetes Mellitus mencapai 8, 33 % dan 5, 33 % bila dibandingkan dengan keluarga sehat yang memperlihatkan angka hanya 1, 96 %.
b). Faktor non genetik
(1) Infeksi
Virus dianggap sebagai “trigger” pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetic terhadap Diabetes Mellitus.
(2) Nutrisi
(a) Obesitas dianggap menyebabkan resistensi terhadap insulin.
(b) Malnutrisi protein
(c) Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya pankreatitis.
(3) Stres
Stres berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar dan emosi biasanya menyebabkan hyperglikemia sementara.
d. Patofisiologi
Sebagian besar patologi Diabetes Mellitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insulin sebagai berikut :
1) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml.
2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan aterosklerosis.
3) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada diabetes mellitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine klien diabetes mellitus. Bila jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225 mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi 180 mg%.
Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml), akan timbul glikosuria karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.
Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.
Manifestasi klinis:
a). Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.
b). Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.

c). Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.
d). Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang.
Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus.
e). Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak
e. Tanda dan Gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
f. Pemeriksaan Penunjang
1). Glukosa darah sewaktu
(1) Plasma vena
(2) Darah kapiler
2). Kadar glukosa darah puasa
(1) Plasma vena
(2) Darah kapiler
3). Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan:
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
g. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1) Diet
2) Latihan
3) Pemantauan
4) Terapi (jika diperlukan)
5) Pendidikan
Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin. Pada penderita dengan diabetes mellitus harus rantang gula dan makanan yang manis untuk selamanya.
Tiga hal penting yang harus diperhatikan pada penderita diabetes mellitus adalah tiga J (jumlah, jadwal dan jenis makanan) yaitu :
J1: jumlah kalori sesuai dengan resep dokter harus dihabiskan.
J2: jadwal makanan harus diikuti sesuai dengan jam makan terdaftar.
J3: jenis makanan harus diperhatikan (pantangan gula dan makanan manis).


Konsep Dasar Laparatomi Eksplorasi

Posted By Revolusi Pendidikan On 6:00 PM 0 comments
a. Pengertian Laparatomi Eksplorasi
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen, bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan. (http://medicastore.laparatomi.co.id, di akses 27 april 2010).
Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi yaitu: Herniotorni, gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepateroktomi, splenorafi/splenotomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dan fistulotomi atau fistulektomi. Tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi adalah berbagai jenis operasi uterus, operasi pada tuba fallopi dan operasi ovarium (Prawirohardjo), yaitu: histerektomi baik itu histerektomi total, histerektomi sub total, histerektomi radikal, eksenterasi pelvic dan salingo-coforektomi bilateral. Selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi pada bedah digestif dan kandungan, teknik ini juga sering dilakukan pada pembedahan organ lain, menurut Spencer (1994) antara lain ginjal dan kandung kemih. Ada 4 (empat) cara, yaitu :
1) Midline incision
2) Paramedian, yaitu : panjang (12,5 cm) ± sedikit ke tepi dari garis tengah
3) Transverse upper abdomen incision, yaitu : sisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy
4) Transverse lower abdomen incision, yaitu : 4 cm di atas anterior spinal iliaka, ± insisi melintang di bagian bawah misalnya : pada operasi appendictomy.
b. Indikasi Laparatomi
1) Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur hepar
2) Peritonitis
3) Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding)
4) Sumbatan pada usus halus dan usus besar
5) Masa pada abdomen (Sjamsuhidajat R, Jong WD, 1997).
c. Komplikasi
1) Ventilasi paru tidak adekuat
2) Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung
3) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
4) Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
d. Post Laparatomi
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut.
e. Tujuan Perawatan Post Laparatomi
1) Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
2) Mempercepat penyembuhan
3) Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi
4) Mempertahankan konsep diri pasien
5) Mempersiapkan pasien pulang
f. Komplikasi Post Laparatomi
1) Tromboplebitis
Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.
2). Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus, organisme ;gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang pali penting adalah perawatan luka dengan mempertahankan aseptik dan antiseptik.
3). Dehisensi Luka atau Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
4). Proses Penyembuhan Luka
a). Fase pertama (Inflamasi)
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak/rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.
b). Fase kedua (Proliferatif)
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
c). Fase ketiga (Maturasi)
Sekitar 2 sampai 10 minggu kolagen terus menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
d). Fase keempat (fase terakhir)
Pada fase penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
g. Intervensi untuk Meningkatkan Penyembuhan
1). Meningkatkan intake makanan tinggi kalori dan tinggi protein ( TKTP)
2). Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid
3). Pencegahan infeksi
h. Pengembalian Fungsi Fisik
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan nafas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini. Latiahn-latihan fisik diantaranya latihan nafas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakan otot-otot bokong. Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur, semuanya dilakukan hari ke 2 post opersi.

Konsep Dasar Abses intra abdomen

Posted By Revolusi Pendidikan On 5:43 PM 1 comments
1. Konsep Dasar Abses
a. Pengertian abses intra abdomen
Abses merupakan kumpulan pus (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing, misalnya serpihan, luka peluru atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lain. Abses intra abdomen yaitu sekumpulan pus yang terdapat di rongga peritoneal yang disebabkan oleh peradangan, abses abdomen (abses perut) itu sendiri dapat terbentuk di bawah diafragma, di pertengahan perut, di rongga panggul atau dibelakang rongga perut. Abses juga bisa terbentuk di dalam atau di sekitar organ perut, misalnya ginjal, limpa, pankreas atau hati, atau di dalam kelenjar prostat (http : // medicastore.net/index, diakses 27 April 2010).
b. Etiologi
Suatu infeksi bakteri staphylococcus aureus, dapat menyebabkan abses melalui beberapa cara yaitu :
1) Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum yang tidak steril
2) Bakteri menyebar dari suatu infekski di bagian tubuh lain secara limfatogen atau hematogen
3) Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia atau tidak menimbulkan gangguan, terkadang dapat menyebabkan terbentuknya abses
4) Adanya cedera dapat menjadi penyebab terjadinya abses
5) Adanya infeksi atau perforasi usus
6) Infeksi organ perut lain

Selain itu peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika :
1) Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi
2) Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang
3) Terdapat gangguan sistem kekebalan misalnya daya tahan tubuh yang menurun
c. Patofisiologi
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah.Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.
d. Gejala
Gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ atau saraf, karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan maka manifestasi lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi, gejalanya bisa berupa :
1) Nyeri
2) Nyeri tekan
3) Teraba hangat
4) Pembengkakan
5) Kemerahan
6) Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai suatu benjolan. Jika abses akan pecah maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala seringkali terlebih dahulu tumbuh menjadi lebih besar. Abses dalam lebih mungkin menyebarkan infeksi ke seluruh tubuh.
e. Penatalaksanaan
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen, dan kuretase untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Salah satu pembedahannya yaitu dengan laparatomi eksplorasi. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgesik dan mungkin juga antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya di indikasikan apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan. Drainase abses paru dapat dilakukan dengan memposisikan penderita sedemikian hingga memungkinkan isi abses keluar melalui saluran pernapasan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses, selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah. Namun demikian, walaupun sebagian besar buku ajar kedokteran menyarankan untuk dilakukan insisi pembedahan, sebagian dokter hanya menangani abses secara konservatif dengan menggunakan antibiotik.
f. Diagnosa
Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses dalam seringkali sulit ditemukan. Pada penderita abses, biasanya pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dalam, bisa dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT scan atau MRI.
g. Komplikasi
1) Infeksi sekunder ; merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.
2) Ruptur atau penjalaran langsung ; rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
3) Komplikasi vaskuler ; ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus gastrointestinal jarang terjadi
4) Parasitemia, amoebiasis serebral ; E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.


Sumber: Buku Kuliah